Tahun 1930, perekonomian dunia mengalami kelesuan hebat, yang disebut dengan istilah "malayse" (paceklik). Pada saat itu harga tebu atau gula jatuh. Sebagai akibatnya, banyak pabrik gula yang tutup karena bangkrut sebab jatuhnya harga tebu tersebut yang dibarengi dengan melonjaknya harga ketela pohon, sedangkan tanaman ketela Mbah H Oesman sangat luas, baik di tanah tegalan sendiri maupun sewaan, sehingga Mbah H Oesman untung besar. Maka dengan keadaan tersebut, mereka meminta supaya tanah mereka dibeli sekalian. Mulai saat itulah Mbah H Oesman dikenal sebagai JURAGAN TANAH. Banyak orang yang menawarkan tanah, akan tetapi Mbah H Oesman tidak segera membelinya. Sebelum membeli tanah Mbah H Oesman selalu shalat Istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah akan kemanfaatan tanah yang akan dibelinya tersebut.
Tak kurang tanah Mbah H Oesman yang meliputi tegalan, sawah dan pekarangan yang tersebar mulai dari Gampengrejo, Pagu, Gurah, Pesantren, Kandat, Ngadiluwih sampai Kras. Semua adiknya yang telah membantu pekerjaannya diberi bagian. Namun demikian tak seorangpun dari putra-putranya yang dilibatkan dalam pengerjaan tanah pertaniannya. Semua anaknya disuruh untuk mencari ilmu, khususnya ilmu agama. Ketiga putra terbesarnya dikirim ke pondok Tremas Pacitan, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Mereka adalah H Idris, H Jamil, H Bahri (Nurhasan).
Minggu, 09 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar