Minggu, 09 Agustus 2009

Gigih, Ulet dan jeli dalam usaha

Dapat dikatakan, harta kekayaan Mbah H Oesman melimpah ruah tetapi beliau bukanlah termasuk orang yang kikir, bukan pula tenggelam dalam pekerjaannya. Yang jelas beliau sangat rapi dan teliti dalam mencatat pemasukan dan pengeluaran uang, utang piutang dan sebagainya.

Meskipun penanganan pertaniannya yang begitu luas memerlukan tenaga dan pikiran yang banyak, Mbah H Oesman sangat memperhatikan masyarakat selatan kali Dusun Kolak yang sampai saat itu masih belum mengenal ajaran Islam. Untuk itu beliau menugasi 3 orang pembantu terdekatnya (H Thohir, Imam Mustahar/Mbah Andir, dan Imam Sapari) untuk mendakwahkan Islam kepada penduduk Dusun Kolak khususnya yang bermukim di selatan kali Kolak.

Dengan tiada mengenal bosan dan ragu, mereka masuk ke rumah-rumah penduduk dengan tidak lupa membawa oleh-oleh (gulo kopi). Mereka mengajak tuan rumah untuk menjalankan syariat Islam. Tidak jarang mereka menemui penduduk yang "keras kepala", bahkan mengajak bertengkar. Selama hampir 2 tahun mereka berdakwah dengan hasil yang dapat dilihat seperti sekarang ini.

Setelah mereka berhasil mengIslamkan seseorang, orang tersebut langsung diajak Mbah H Oesman ke langgarnya untuk dimandikan dan diajari membaca kalimah syahadat, kemudian diberi sarung, baju dan kopyah untuk kemudian diajari pokok-pokok ajaran Islam. Selanjutnya mereka diajak shalat berjamaah, tidak hanya itu Mbah H Oesman juga menunjang ekonomi mereka dengan beras + 2 Kg/hari, selama sekitar dua bulan.

Bentuk lain dari kedermawanan Mbah H Oesman tergambar jika mendengar tetangganya yang meninggal dunia. Beliau akan datang paling awal, apalagi jika yang meninggal tersebut orang yang tidak mampu. Mbah H Oesman akan menyuruh pembantunya untuk mengambil segala kebutuhan penyelenggaraaan pemakaman seperti kain kafan, beras bahkan kayu bakarpun diambilkan dari rumah Mbah H Oesman

Juragan Tanah

Tahun 1930, perekonomian dunia mengalami kelesuan hebat, yang disebut dengan istilah "malayse" (paceklik). Pada saat itu harga tebu atau gula jatuh. Sebagai akibatnya, banyak pabrik gula yang tutup karena bangkrut sebab jatuhnya harga tebu tersebut yang dibarengi dengan melonjaknya harga ketela pohon, sedangkan tanaman ketela Mbah H Oesman sangat luas, baik di tanah tegalan sendiri maupun sewaan, sehingga Mbah H Oesman untung besar. Maka dengan keadaan tersebut, mereka meminta supaya tanah mereka dibeli sekalian. Mulai saat itulah Mbah H Oesman dikenal sebagai JURAGAN TANAH. Banyak orang yang menawarkan tanah, akan tetapi Mbah H Oesman tidak segera membelinya. Sebelum membeli tanah Mbah H Oesman selalu shalat Istikhoroh, mohon petunjuk kepada Allah akan kemanfaatan tanah yang akan dibelinya tersebut.

Tak kurang tanah Mbah H Oesman yang meliputi tegalan, sawah dan pekarangan yang tersebar mulai dari Gampengrejo, Pagu, Gurah, Pesantren, Kandat, Ngadiluwih sampai Kras. Semua adiknya yang telah membantu pekerjaannya diberi bagian. Namun demikian tak seorangpun dari putra-putranya yang dilibatkan dalam pengerjaan tanah pertaniannya. Semua anaknya disuruh untuk mencari ilmu, khususnya ilmu agama. Ketiga putra terbesarnya dikirim ke pondok Tremas Pacitan, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Mereka adalah H Idris, H Jamil, H Bahri (Nurhasan).

Juragan Telo

Pada mulanya, untuk nafkah sehari-hari di samping bertani, Moelyo berencana membuka kedai warkop di dekat masjid, tepatnya jalan menuju rumah Mbah KH. Rois Marzuqi. Dengan harapan agar mudah menjamu para tamu, saudara, dan orang yang pulang dari masjid. Ternyata Taqdir menentukan lain. Atas anjuran seorang sahabatnya, yaitu Kyai Idris dari Pilang, beliau disuruh menanam telo atau ketela pohon.

Anjuran ini dicoba dijalani oleh Mbah H Oesman. Beliau mulai menanami tegalan pemberian ayahnya seluas 1 bahu dengan ketela pohon. Pada waktu panen beliau mendengar bahwa harga ketela pohon di Surabaya saat itu melonjak naik sangat tinggi. Oleh karena itu beliau berniat untuk menjualnya ke Surabaya.

Ternyata memang benar. Dengan membawa keuntungan yang banyak, Mbah H Oesman segera pulang dan memborong ketela pohon di sekitar desanya, kemudian dikirim ke Surabaya. Akhirnya, Mbah H Oesman terkenal sebagai pedagang telo. Saat itu, mitra dagangnya adalah KH Abd Salam dari Ngelom Sepanjang.

Mbah H Abdusshomad atau Lurah Soeroredjo wafat

Pada tahun 1920-an, H. Oesman beserta keluarganya (termasuk ayahnya Lurah Soeroredjo) berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Rombongannya sampai berjumlah 13 orang, ada yang mengatakan berjumlah 16 orang, 17 orang, bahkan ada yang mengatakan sampai 25 orang. Dalam perjalanan pulang, sang ayah tercinta yang nama aslinya PODIRAN (Ki Demang SOEROREDJO) diganti dengan H ABDUSSHOMAD sakit hingga menemui wafatnya. Makam beliau berada di Ondrust (kepulauan seribu).

PODIRAN bergelar SOEROREDJO

Hubungan Mbah Haji Umar dengan Podiran semakin akrab. Hal ini disebabkan ketaatan Podiran kepada ajaran-ajaran Islam. Ditambah lagi dengan budi pekerti yang baik membuat Podiran semakin disegani masyarakat sekitar

Keduanya, meski Mbah H Oemar santri dan Podiran abangan, tapi tidak bisa dipungkiri, sosok Mbah H Oemar sangat mempengaruhi jiwa Podiran. Dan bahkan bagi kelangsungan hidup Podiran selanjutnya. Pada akhirnya, PODIRAN terpilih sebagai lurah dan bergelar SOEROREDJO.

Sebagai seorang lurah, kesan atau bahkan cap abangan sedikit demi sedikit dikikis oleh Mbah Soeroredjo. Hal ini sangat mungkin terjadi karena beliau datang dan menetap di Kolak berkat hubungan dan bimbingan ilmu dari Mbah H Oemar, sehingga kalau ada yang menyimpang dari ajaran Islam, Mbah H Oemar langsung mengingatkan. Inilah posisi sebenarnya seorang ulama' seperti Mbah H Oemar. Bukan ulama' yang tunduk pada pejabat lurah atau pemerintah, tapi sebaliknya pemerintah harus mengikuti ulama' terutama dalam mengatur masyarakat.

Di samping Mbah Soeroredjo membuktikan diri untuk menghapus cap abangan dengan cara mendidik putra-putrinya kepada pelukan Islam. Pelajaran-pelajaran umum tentu tidak dikesampingkan oleh Mbah Soeroredjo, tapi tidak melupakan pelajaran agama. Secara ketat, Mbah Soeroredjo mengharuskan anak-anak supaya ngaji. Bahkan salah seorang anaknya dikirimkan ke pondok Tebuireng Jombang.

Ceritanya, ketika itu Lurah Soeroredjo pergi ke Tebuireng dalam rangka berdagang kuda. Ketika bertemu dengan hadrotussyaikh KH Hasyim Asy'ari, beliau sangat terkesan dan takjub. Mbah Soeroredjo terkesan dan berkata dalam hati ketika melihat hadrotussyaikh KH Hasyim Asy'ari turun dari mengaji untuk menemuinya.
Sejak saat itulah Lurah Soeroredjo berikrar dalam hati, "Inilah orang tua yang dapat dialap berkah ilmunya." Itulah sekilas gambaran ketertarikan Lurah Soeroredjo

akan ajaran Islam yang berlanjut pada pendidikan untuk putra-putrinya sampai dewasa, ini dibuktikan dengan memondokkan putra ketiganya Moelyo ke Tebuireng Jombang.

Sabtu, 08 Agustus 2009

MOELJO bin PODIRAN

Mbah Podiran, ayah Moelyo adalah seorang pendatang berasal dari Desa Gadungan Pare. Tingkat ekonomi masyarakat di desa ini kurang makmur, minimal dalam pikiran Podiran. Dalam kehidupan sehari-hari masih dirasa kurang cukup terutama untuk memenuhi kehidupan keluarganya. Oleh karena itu, terbersit dalam pikirannya untuk mengembara. Akhirnya Mbah Podiran boro, atau pergi keluar daerah untuk bekerja tepatnya, Kota Surabaya.

Dalam masa-masa selanjutnya, ketika sampai di Surabaya, Mbah Podiran bertemu dengan seorang ulama' yang bernama Mbah H Oemar bin Pragoto suami dari Mbah Muntomimah binti Mbah H. Sholeh Rantanu. Ketika H Oemar melihat keuletan Podiran, lalu akhirnya beliau mengajak Podiran ke Kolak yang saat itu gong nyantri (abangan). Ketika sampai di dusun Kolak, Podiran dididik dan diajarkan tentang ilmu-ilmu agama. Sejak saat itu, Podiran menjadi santri muallafnya Mbah H Oemar. Selanjutntya, Mbah H Oemar memberi sepetak tanah untuk tempat tinggal Mbah Podiran. Tempat tinggal tersebut sekarang menjadi dalem KH Dlofir Ismail.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Podiran muda bekerja sebagai bajingan (tukang nyikar) pada salah seorang juragan telo. Karena tekad yang bulat dalam bekerja si Podiran naik pangkat diambil mantu oleh juragannya (nama juragan ini tidak ditemukan data-datanya). Podiran akhirnya menikah dengan Roettinah anak sang juragan

Sekilas tentang "KOLAK"

Asal usul Dusun Kolak, konon dibabat oleh Mbah Sholeh bin Harun An-Nur (yang lebih dikenal dengan Mbah Harontanu). Tidak diketahui secara pasti, siapa sebenarnya Mbah Sholeh ini. Tetapi, yang diketahui hanya makam beliau yang terletak di sebelah barat langgar Mbah H Umar (sekarang ditempati oleh KH Abd Mujib Zuhri).

Nama dusun ini tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, istilah Kolak, yaitu nama salah satu minuman penghilang dahaga. Kedua, istilah Kolah, sebuah istilah yang menunjuk pada air yang sangat banyak, melimpah-ruah. Kedua istilah ini akan turut menjadi saksi sejarah bagi perkembangan dusun Kolak di kemudian hari.

Istilah Kolak sendiri diambil dari seorang bakul kolak bernama Sireng yang berjualan di sebuah gerdon (gardu ronda). Tempat gerdon itu sekarang dibangun perikanan, tepatnya menghadap ke jalan menuju rumah Mbah Podiran (Mbah H Abdusshomad) yang sekarang ditempati KH Dlofir Ismail.

Sedang istilah Kolah diambil dari adanya sebuah sumber air yang berada disebelah gerdon. Sumber air ini dikenal dengan sumber Gentong. Dulu, sumber air tersebut sangat melimpah-ruah (berkolah-kolah) sehingga sering disebut kolah.

Dengan adanya kenyataan dua hal di atas; ada minuman kolak dan kolah, dusun ini menjadi ramai. Setidaknya bagi para pedagang hasil bumi dari selatan Kediri yang pergi maupun pulang dari pasar kuto Kediri. Mereka melepas lelah sambil menikmati kolak dan mandi di sumber Gentong. Tidak aneh jika setiap saat berderet dokar-dokar di sekitar warung kolak. Dari kisah keberadaan bakul kolak dan sumber Gentong itulah kemudian lahir nama Dusun Kolak untuk menandai tempat tersebut.

Saat ini, Dusun Kolak termasuk Desa Wonorejo, tepatnya jalur jalan raya antara Kediri – Tulungagung dan jaraknya sekitar 06 km dari alun-alun kota Kediri. Desa Wonorejo, dulu dikenal sebagai suatu daerah hunian di tepi sungai Berantas, sebelah barat Dusun Kolak. Akibat terjadi banjir bandang tahun 1955, warga Wonorejo termasuk Dusun Pilang yang berada di sebelah utaranya melakukan bedhol deso, pindah ke suatu daerah tegalan yang sekarang disebut Dusun Tegalrejo. Kedua dusun ini masuk dalam Pemerintahan Desa Wonorejo.

Gambaran secara umum masyarakat Dusun Kolak dahulu dibagi menjadi 2 batas, yaitu selatan kali dan utara kali. Di sebelah utara kali, dapat dikatakan kaum santri, sedang sebelah selatan merupakan penduduk abangan.

Akan tetapi sejak Mbah Moelyo (Mbah H Oesman) bertempat tinggal di selatan kali (sekarangmenjadi tempat Mbah H Salim), sedikit demi sedikit kehidupan masyarakat yang bercorak abangan makin berkurang. Masyarakat yang berada di sebelah selatan kali mulai melaksanakan shalat dan mau ngaji Al-qur'an, dan belajar ilmu syariat yang lain. Semua itu merupakan buah dari hasil jerih-payah dari beliau Mbah H Oesman bin Podiran/Soeroredjo/H Abdusshomad).

Dari Redaksi

Alhamdulillah, segala puji hanya patut kita panjatkan bagi Allah SWT atas segala ridlo, rahmat serta karunia yang tak terhingga, sehingga bisa menyelesaikan buku ini. Shalawat dan salam juga selalu kita curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Menulis sebuah rentang sejarah masa lalu tidaklah mudah. Banyak data berserakan, diolah, diteliti dan dikaitkan-kaitkan dengan dan dari sumber-sumbernya juga bukanlah pekerjaan gampang. Apalagi yang ditulis adalah mbah-mbah kita sendiri, tentu ada perasaan tidak enak untuk mengungkap secara menyeluruh. Oleh karena itu, sampai menjelang akhir proses pembuatan buku ini, kami masih mengalami beberapa keterbatasan, kalau tidak boleh disebut ketidakmampuan. Mudah-mudahan suatu saat nanti ada yang menulis secara lengkap.

Tokoh Mbah H Oesman merupakan tokoh yang komplek sekaligus lengkap. Disebut komplek karena dapat memadukan kepentingan dunia dan akhirat dalam diri, jiwa dan perjuangan beliau. Juga disebut lengkap karena sebagai manusia yang lemah, beliau dikaruniai kelebihan rizki dan kemampuan untuk mengolahnya, sekaligus berjuang bak baginda kita Nabiyullah Muhammad SAW ketika berdakwah kepada masyarakatnya.

Dulu, ketika masyarakat Dusun Kolak masih abangan, Mbah H Oesman mencoba berdakwah dengan dua pendekatan; pendekatan kekeluargaan dan perekonomian yang memang waktu itu masyarakat Kolak sangat-sangat membutuhkan. Sedikit demi sedikit beliau menemui warga. Tidak sedikit cacian, makian dan bahkan tantangan keras dari masyarakat. Tapi seiring berjalannya waktu, perjuangan beliau mulai membuahkan hasil. Itulah salah satu penggalan sejarah Mbah H Oesman. Pengalaman sejarah inilah yang mesti kita jadikan pelajaran di masa-masa mendatang. Bahwa berjiwa besar harus diiringi dengan semangat, kesabaran, ulet, dan nrimo yang besar pula.

Akhirnya, segenap redaksi mohon maaf yang sebesar-besarnya atas ketidaksempurnaan buku ini. Meski begitu, mudah-mudahan buku kecil ini banyak manfaatnya. Tak lupa kritik dan saran sangat kami harapkan, demi perbaikan pada penerbitan-penerbitan selanjutnya

KELUARGA BESAR BANI OESMAN


Sengaja kami buat blog ini, semata hanya untuk memper-erat tali persaudaraan diantara putra/putri, cucu, buyut, canggah, udeg-udeg, gantunsiwur dan seterusnya ... hingga pertautan tali persaudaraan tidak berserak diantara kami.